Pages

Senin, 17 Juni 2013

alim-ulama BETAWI

K.H. RAHMATULLAH SIDDIK



Kyai Rahmat, yang lahir pada 12 November 1923 dari pasangan H. M. Shiddiq dan Hj. Rohimah, adalah murid Guru Kholid Gondangdia, teman Sang Kakek, Guru Daud, ketika sama-sama belajar di Makkah.

Sebagai ulama yang cukup terpandang, Kyai Rahmat turut membidani lahirnya MUI DKI Jakarta pada tahun 1975, sebagai jembatan antara ulama dan umara. Dan ketika susunan pengurus organisasi diumumkan, Kyai Rahmat duduk sebagai Ketua I.

Namun tugas itu hanya diembannya selama empat tahun. Pada 07 Juli 1979 M / 12 Sya’ban 1399, K.H. Rahmatullah Shiddiq dipanggil Allah SWT, dalam usia 56 tahun, setelah dirawat di RS. Pelni Jakarta.

Selain ulama, Kyai Rahmat juga terjun dalam kancah politik, bermula ketika dia berkenalan dengan Kyai Noer Ali Ujung Harapan, pada masa revolusi. Saat itu dia terlibat dalam perjuangan Tentara Keamanan Rakyat, terutama dalam mempelancar distribusi logistik di wilayah Rengasdengklok, Kerawang, Bekasi, dan Jakarta. Noer Ali kemudian memperkenalkan kepada Muhammad Natsir, Ketua Umum Partai Masyumi.

Melalui Partai Masyumi inilah, Kyai rahmat menjadi anggota parlemen hasil Pemilu 1955, seangkatan dengan H. Abdullah Salim, H. Ghazali Sahlan, Mr. Kasman Singodimejo, dan H. Mohammad Rum.



K.H. HASBIYALLAH

K.H. MUHAJIRIN





Dalam perburuan ilmunya di Makkah K.H. Hasbiyallah, yang diperkirakan lahir pada tahun 1913, berguru kepada tokoh-tokoh ulama-ulama besar besar Indonesia seangkatannya. Diantara guru-gurunya itu adalah Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki, Sayyid ‘Alwi bin ‘Abbas Al-Maliki, Syaikh Muhammad Habibullah As-Sanqiti, Syaikh Muhammad Amin Kutbi, Syaikh Hasan Al-Masysyath, Syaikh Umar Hamdan, Syaikh ‘Ali Al-Yamani, Syaikh Zakariya Bila, Syaikh Ahmad Fathoni, Syaikh Umar At-Turki.

Sedangkan guru-gurunya di tanah air adalah K.H. Anwar, yang termasyhur dengan sebutan Mua’allim H. Gayar (ayahandanya sendiri), Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara, Guru Muhammad Thohir Cipinang Muara (menantu Guru Marzuki), K.H. Kholid Gondangdia, K.H. Abdul Majid Pekojan, Guru Babah, K.H. Abbas (Buntet, Cirebon), Habib Ali Al-Habsyi Kwitang, dan Habib Ali Al-Attas Bungur.

Sejek kecil K.H. Hasbiyallah dididik oleh ayahandanya sendiri, Muallim H. Gayar, yang selain seorang pedagang juga ulama terkemuka. Mulai dari membaca Al-qur’an sampai ilmu-ilmu lain, diantaranya memperdalam ilmu tauhid, fiqih, tafsir, hadist, nahwu, sharaf, balaghah, manthiq, dan sebagainya.

Namun karena kesibukan ayahnya sebagai pedagang, Hasbiyallah kecil dititipkan kepada teman karibnya, seorang ulama besar, Guru Marzuki bin Mirshod. Guru Gayar berkata kepada temannya itu dihadapan temannya yang lain, Guru Said, “Gua ama Said banyakan ngurusin dagang, ngajarnya kagak kaya elu. Elu aja yang jadi ulama. Kalo kita jadi ulama bertiga, entar kita pada berebutan berkat.”

Sebenarnya, ketiga guru itu terkenal dengan kealimannya masing-masing. Itu terlihat dari jumlah santri mereka pada zaman berikutnya menjadi ulama-ulama besar.

Mualim H. Gayar dan Guru Marzuki bin Mirshod belajar kepada Sayyid Ustman Banahsan (Habib Ustman Muda) dan Habib Ustman bin Abdillah bin ‘Aqil Bin Yahya Al-Alawi, yang termashur sebagai mufti Betawi dan memilki banyak karya dan sebagiannya selama puluhan tahun (bahkan lebih dari seratus tahun) hingga sekarang menjadi pegangan para penganut ilmu dan ulama.

Selama belajar dengan Guru Marzuki, Hasbiyallah muda banyak mendapat kesempatan bergaul dengan santri-santri lainnya dari Jakarta dan sekitarnya yang kemudian menjadi tokoh ulama yang disegani. Di antaranya, K.H. Mukhtar Tahbrani (Pendiri Ponpes An-Nur, Kaliabang Nangka, Bekasi), K.H. Noer Ali (Pendiri Ponpes At-Taqwa, Ujung Harapan, Bekasi), K.H. Mughni (mertua K.H. Noe Ali), K.H. Abdullah Syafi’I (pendiri Perguruan Asy-Syafi’iyah, Bali Matraman), K.H. Syarkaman Lenteng Agung, K.H. Rohaimin Gabus Pabrik, K.H. Abdul Hadi (pendiri Ponpes Cipinang Kebembem), K.H. Abu Bakar (Tambun), K.H. Abdul Hamid (Bekasi), K.H. A. Zayadi Muhajir (pendiri Ponpes Az-Ziyadah, Klender), K.H. Ahmad (Pangkalan Jati), K.H. Mukhtar (Pondok Bambu), K.H. Abdur Rohman Shodri (Bekasi), K.H. A. Mursyidi (Klender), K.H. Muhammad Nur Bungur Seroja, K.H. Jurjani Bungur, K.H. Thohir Rohili (pendiri Ponpes Athtahiriyah), K.H. Mualim Sodri Pisangan, Guru Abdurrahman Pulo Kambing.

Pada tahun 1934, ketika Hasbiyallah sedang giat-giatnya memperdalam ilmu agama. Allah memanggil sang guru ke haribaan-Nya. Namun semangat belajarnya tak pernah padam, hingga ia melanjutkan pelajatannya ke Pondok Pesantren Buntet Cirebon, yang diasuh seorang kyai besar kharismatik, K.H. Abbas Buntet.

K.H. Hasbiyallah, ulama yang dikenal luas akan kedalaman ilmunya, yang juga pendiri Lembaga Pendidikan Islam Al-Wathoniyah, Klender, wafat pada tahun 1982.

Ulama yang satu ini produktif menulis. Ia telah mengarang lebih dari 38 kitab, semuanya berbahasa Arab. Yang paling terkenal, Mishbah az-Zhulam, delapan jilid, merupakan syarah kitab Bulugul Maram.

Jika disebut trio pendekar ilmudi bekasi pada era 60-an, nama Syaikh Muhammad Muhajirin Amsah Addary adalah salah satunya. Lainnya , K.H Noer Ali dan K.H Abdurahman Sodri. Di pondok pesantren pertama di Bekasi, yang berada di daerah Bulan-Bulan, dekat alun-alun di jantung kota Bekasi, ketiga ulama itu bahu-membahu menegakkan ajaran Islam di Bekasi dan sekitarnya. Pada tahun 1963 tak jauh dari tempat pondok pesantren bahagia, Syaikh Muhammad Muhajirin Amsar Addary mendirikan pondok pesantren An-Nida Al-Islami.

Para Guru Di Jakarta

Syaikh Muhammad Muhajirin Amsah Addary lahir pada tanggal 10 november 1924, di Kampung Baru, cakung sebuah daerah di pinggiran kota Jakarta. Ayahnya seorang pedagang, H. Amsah, sedangkan ibunya Hj. Zuhriah. Syaikh Muhajirin kecil mendapat pendidikan agama dari kedua orang tuanya dan kerabatnya.

Ia belajar membaca al-quran, selesai menghatamkan al-quran , orang tuanya mengadakan tasyakuran. Dan beberapa waktu kemudian mereka mengirimkannya kepada beberapa mu’allim agar dapat mempelajari dasar-dasar ilmu agama dan ilmu-ilmu lainnya.

Mu’allim pertama yang ia kunjungi adalah Guru Asmat. Ia belajar kepada guru Asmat kurang lebih 6 tahun, kepadanya Syaikh Muhajirin kecil belajar berbagai disiplin ilmu, di antaranya nahwu,sharaf,fiqih,mantiq,ushul figh,ilmu kalam, dan tasawuf. Di pertengahan masa belajar dengan Guru Asmat, ia juga menyempatkan diri untuk menuntut ilmu kepada H.mukhoyar, mempelajari ilmu al-quran tajwid.

Mu’allim kedua adalah H.Ahmad. selama empat tahun ia belajar ilmu darinya diantaranya ialah nahwu, arudh ( ilmu tentang syair ), fiqih, dan hadist. Kemudian ia menuntut ilmu selama tiga tahun kepada K.H Hasbiyallah ( pendiri yayasan al- Wathoniyah,Klender Jakarta Timur ). Lalu ia belajar kepada K.H Anwar ( nahwu dan fiqih ) K.H Ahmad Mursyidi ( mantiq dan balaghah ) K.H Hasan Murtaha, cawang ( nahwu,ballaghah, muthalah hadist- ilmua tentang peristilahan hadist,ushul fiqih, adabul-bahts wal-munazharah-ilmu tentang adab diskusi). Selanjutnya Muhajirin berguru kepada syaikh Muhammad Tohir Muara. Kali itu ini cukup lama, sembilan tahun, mempelajari nahwu,fiqih, tafsir, mantiq, balaghah, tasawuf, hadist, adabul-bahts wal-munazharah, dan falak.

Ia juga belajar ilmu gerhana bulan dan matahari kepada Ahmad bin Muhammad, murid syaikh Mansyur al-falaqy. Dan gurunya yang terakhir di Jakarta adalah syayid Ali bin Abdurahman Al-Habsyi. Kepadanya ia mempelajari kitab Al-Hikam (tasawuf). Dapat dikatakan, dari para gurunya itu ia telah memiliki bekal yang cukup banyak, minimal sebagai seorang calon Kiai. Namun tidak berarti ia merasa puas dengan ilmu yang telah dimilikinya. Justru ia semakin haus ilmu, dan itulah yang akhirnya memantapkan niatnya untuk menuntut ilmu di tanah suci.Makkah dan Madinah.

MENUNTUT ILMU DI TANAH SUCI

Tanggal 4 dzhulqaidah tahun 1366 H. bertempatan dengan bulan Agustus 1947, berangkatlah syaikh Muhajirin menuju Jeddah, Akhir bulan dzhulqaidah tibalah ia di Jeddah. Selanjutnya ia melakukan umrah ke Makkah. Selama di Makkah ia tinggal di rumah Syaikh Abdul Ghoni Jamal. Di sana ia banyak mendapatkan ilmu pengetahuan. Setelah beberapa lama ia menetap di rumah Syaikh Abdul Ghoni Jamal, ia pindah ke asrama jailani. Di sana, pertama kali ia belajar kepada Syaikh Muhammad Ahyad, yang mengajar di masjid al-haram. Kitab-kitab yang ia pelajari darinya adalah : Fath Al-Wahab,al-Iqna’fi hilli Alfazh Abi syuja, Al-Mahalli ‘Ala Al-Qalyubi, Riyadhash-Shalihin,Minhaj al-Abidin,Umdah al-Abrar, Dan Fath Al-Qadir Fi Nusu Al-Ajir. Guru-rurunya yang lain selama ia belajar di Makkah di antaranya Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath, Syaikh Zaini Bawean, Syaikh Muhammad Ali bin Husain Al-Maliki, Syaikh Mukhtar Ampetan,Sayyid’Alwi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Ibrahim Fathani, Syaikh Muhammad Amin Al-Khutbi, Syaikh Ismail Fathani.

Dua tahun kemudian ia melanjutkan studynya dengan di Darul Ulum Ad Diniyah. Selama belajar di sana, ulama yang paling berpengaruh dengan keilmuannya adalah Syah Ahmad Mansyuri dan Syaikh Muhammmad Yasin Fathani. Kurang lebih dua tahun. Kitab-kitab yang ia pelajari antara lain : Syark Ibnu ‘Agil ‘Ala Alfiyah,Mukhtashar Ma’Ani’Ala at Talkhish ( Nahwu ) Al Mahalli ‘Ala Al-Qalyubi ( Fiqih ), Muwaththa’ Malik Sunnan abi Daud ( Hadist ) Jam’ul-Jawami’( ushul fiqih ), Tafsir Ilmu Kastsir,at-Thahbiq Baina al- Madzahib al-mudawwanah ( Kitab tentang persesuaian antara beberapa madahab )

Dahaganya tentang ilmu pengetahuan membuat Syaikh Muhajirin tetap saja rendah hati dan selalu merasa ada ilmu yang selalu mersa belum dipahaminya dengan baik dan benar.

Akhirnya di penghujung bulan Dzulqaidah tahun 1370 H, bertepan dengan 28 agustus 1951, Shaikh Muhajirin berhasil menyelesaikan pendidikannya di Darul Ulum merupakan lulusan terbaik dalam angkatannya. Tak lama berselang iapun diminta untuk mengajar di almamaternya, meskipun menyandang predikat lulus, Syaikh Muhajirin tetap belajar kepada Syaikh Muhammad Yasin bai di rumah maupunnya di sekolah tempatnya mengajar. Akhirnya, Syaikh Muhammad Yasin memberikan Ijazah kepadanya yang dinamakan Maslak al-jali fi Asanid asy-Min Asanid asy-Syaikh Umar Hamdan. Syaikh Muhajirin juga mendapatkan ijazah dari guru lainnya,yakni Syaikh Muhammad Abdul Baqi, setelah selesai membaca Al-Manahil as-Silsilah fi Al-Ahadits al-Musalsalah,baik secara fi’liyah (perbuatan) maupun qauliyah (ucapan).

MELAHIRKAN ULAMA BESAR

Kamis tanggal 19 Shafar 1375 H,Bertepatan dengan 6 agustus 1955 Syaikh Muhajirin tiba di tanah air, dua tahun setelah kembali ke tanah air ia menikah dengan Hj.Hannah, salah seorang putrid K.H Abdurahman Sodri. Dari pernikahan ini ia di anugerahi delapan anak empat putra dan empat putri. Mereka inilah yang yang meneruskan perjuangan beliau dalam mengembangkan pondok pesantren An-Nida Al-Islamy. Semasa hidupnya beliau hanya mengabiskan waktunya dengan mengajar santri-santrinya di pondok pesantren Syaikh Muhajirin juga dikenal sebagai ulama yang alimdan ahli dalam berbagai bidang ilmu, khususnya ilmu falak. Menurut salah seorang santrinya beliau adalah ulama yang pertama kali mengemukakan pendapat bahwa bulan(baca:hilal) dalam ilmu falak dapat dilihat dengan ukuran 2 ½ derajat dengan langsung mengunakan mata kepala dan bantuan alat tradisional.

Dalam hal ini tidak sembarangan orang dapat melihat hilal pada derajat tertentu, semua itu memerlukan tahapan tahapan dalam waktu yang tidak sebentar.

Ulama yang satu ini produktif menulis. Ia telah mengarang lebih dari 38 kitab, semuanya berbahasa Arab. Yang paling terkenal, Mishbah az-Zhulam, delapan jilid, merupakan syarah kitab Bulugul Maram.

Kegigihan, ketegasan dan kesabaran beliau dalam mendidik santri, telah banyak melahirkan ulama besar,yang juga mumpuni dalam membaca kitab dan mengamalkan kitab-kitab yang beliau ajarkan.

Syaikh Muhajirin Wafat pada tanggal 28 Dzulqaidah 1424 H, bertepatan dengan tanggal 31 januari 2003.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About