K.H. RAHMATULLAH SIDDIK

Kyai Rahmat, yang lahir pada 12 November 1923 dari pasangan H. M.
Shiddiq dan Hj. Rohimah, adalah murid Guru Kholid Gondangdia, teman Sang
Kakek, Guru Daud, ketika sama-sama belajar di Makkah.
Sebagai ulama yang cukup terpandang, Kyai Rahmat turut membidani
lahirnya MUI DKI Jakarta pada tahun 1975, sebagai jembatan antara ulama
dan umara. Dan ketika susunan pengurus organisasi diumumkan, Kyai Rahmat
duduk sebagai Ketua I.
Namun tugas itu hanya diembannya selama empat tahun. Pada 07 Juli 1979 M
/ 12 Sya’ban 1399, K.H. Rahmatullah Shiddiq dipanggil Allah SWT, dalam
usia 56 tahun, setelah dirawat di RS. Pelni Jakarta.
Selain ulama, Kyai Rahmat juga terjun dalam kancah politik, bermula
ketika dia berkenalan dengan Kyai Noer Ali Ujung Harapan, pada masa
revolusi. Saat itu dia terlibat dalam perjuangan Tentara Keamanan
Rakyat, terutama dalam mempelancar distribusi logistik di wilayah
Rengasdengklok, Kerawang, Bekasi, dan Jakarta. Noer Ali kemudian
memperkenalkan kepada Muhammad Natsir, Ketua Umum Partai Masyumi.
Melalui Partai Masyumi inilah, Kyai rahmat menjadi anggota parlemen
hasil Pemilu 1955, seangkatan dengan H. Abdullah Salim, H. Ghazali
Sahlan, Mr. Kasman Singodimejo, dan H. Mohammad Rum.
K.H. HASBIYALLAH
K.H. MUHAJIRIN


Dalam perburuan ilmunya di Makkah K.H. Hasbiyallah, yang diperkirakan
lahir pada tahun 1913, berguru kepada tokoh-tokoh ulama-ulama besar
besar Indonesia seangkatannya. Diantara guru-gurunya itu adalah Syaikh
Muhammad Ali Al-Maliki, Sayyid ‘Alwi bin ‘Abbas Al-Maliki, Syaikh
Muhammad Habibullah As-Sanqiti, Syaikh Muhammad Amin Kutbi, Syaikh Hasan
Al-Masysyath, Syaikh Umar Hamdan, Syaikh ‘Ali Al-Yamani, Syaikh
Zakariya Bila, Syaikh Ahmad Fathoni, Syaikh Umar At-Turki.
Sedangkan guru-gurunya di tanah air adalah K.H. Anwar, yang termasyhur
dengan sebutan Mua’allim H. Gayar (ayahandanya sendiri), Guru Marzuki
bin Mirshod Cipinang Muara, Guru Muhammad Thohir Cipinang Muara (menantu
Guru Marzuki), K.H. Kholid Gondangdia, K.H. Abdul Majid Pekojan, Guru
Babah, K.H. Abbas (Buntet, Cirebon), Habib Ali Al-Habsyi Kwitang, dan
Habib Ali Al-Attas Bungur.
Sejek kecil K.H. Hasbiyallah dididik oleh ayahandanya sendiri, Muallim
H. Gayar, yang selain seorang pedagang juga ulama terkemuka. Mulai dari
membaca Al-qur’an sampai ilmu-ilmu lain, diantaranya memperdalam ilmu
tauhid, fiqih, tafsir, hadist, nahwu, sharaf, balaghah, manthiq, dan
sebagainya.
Namun karena kesibukan ayahnya sebagai pedagang, Hasbiyallah kecil
dititipkan kepada teman karibnya, seorang ulama besar, Guru Marzuki bin
Mirshod. Guru Gayar berkata kepada temannya itu dihadapan temannya yang
lain, Guru Said, “Gua ama Said banyakan ngurusin dagang, ngajarnya kagak
kaya elu. Elu aja yang jadi ulama. Kalo kita jadi ulama bertiga, entar
kita pada berebutan berkat.”
Sebenarnya, ketiga guru itu terkenal dengan kealimannya masing-masing.
Itu terlihat dari jumlah santri mereka pada zaman berikutnya menjadi
ulama-ulama besar.
Mualim H. Gayar dan Guru Marzuki bin Mirshod belajar kepada Sayyid
Ustman Banahsan (Habib Ustman Muda) dan Habib Ustman bin Abdillah bin
‘Aqil Bin Yahya Al-Alawi, yang termashur sebagai mufti Betawi dan
memilki banyak karya dan sebagiannya selama puluhan tahun (bahkan lebih
dari seratus tahun) hingga sekarang menjadi pegangan para penganut ilmu
dan ulama.
Selama belajar dengan Guru Marzuki, Hasbiyallah muda banyak mendapat
kesempatan bergaul dengan santri-santri lainnya dari Jakarta dan
sekitarnya yang kemudian menjadi tokoh ulama yang disegani. Di
antaranya, K.H. Mukhtar Tahbrani (Pendiri Ponpes An-Nur, Kaliabang
Nangka, Bekasi), K.H. Noer Ali (Pendiri Ponpes At-Taqwa, Ujung Harapan,
Bekasi), K.H. Mughni (mertua K.H. Noe Ali), K.H. Abdullah Syafi’I
(pendiri Perguruan Asy-Syafi’iyah, Bali Matraman), K.H. Syarkaman
Lenteng Agung, K.H. Rohaimin Gabus Pabrik, K.H. Abdul Hadi (pendiri
Ponpes Cipinang Kebembem), K.H. Abu Bakar (Tambun), K.H. Abdul Hamid
(Bekasi), K.H. A. Zayadi Muhajir (pendiri Ponpes Az-Ziyadah, Klender),
K.H. Ahmad (Pangkalan Jati), K.H. Mukhtar (Pondok Bambu), K.H. Abdur
Rohman Shodri (Bekasi), K.H. A. Mursyidi (Klender), K.H. Muhammad Nur
Bungur Seroja, K.H. Jurjani Bungur, K.H. Thohir Rohili (pendiri Ponpes
Athtahiriyah), K.H. Mualim Sodri Pisangan, Guru Abdurrahman Pulo
Kambing.
Pada tahun 1934, ketika Hasbiyallah sedang giat-giatnya memperdalam ilmu
agama. Allah memanggil sang guru ke haribaan-Nya. Namun semangat
belajarnya tak pernah padam, hingga ia melanjutkan pelajatannya ke
Pondok Pesantren Buntet Cirebon, yang diasuh seorang kyai besar
kharismatik, K.H. Abbas Buntet.
K.H. Hasbiyallah, ulama yang dikenal luas akan kedalaman ilmunya, yang
juga pendiri Lembaga Pendidikan Islam Al-Wathoniyah, Klender, wafat pada
tahun 1982.
Ulama yang satu ini produktif menulis. Ia telah mengarang lebih dari 38
kitab, semuanya berbahasa Arab. Yang paling terkenal, Mishbah
az-Zhulam, delapan jilid, merupakan syarah kitab Bulugul Maram.
Jika disebut trio pendekar ilmudi bekasi pada era 60-an, nama Syaikh
Muhammad Muhajirin Amsah Addary adalah salah satunya. Lainnya , K.H Noer
Ali dan K.H Abdurahman Sodri. Di pondok pesantren pertama di Bekasi,
yang berada di daerah Bulan-Bulan, dekat alun-alun di jantung kota
Bekasi, ketiga ulama itu bahu-membahu menegakkan ajaran Islam di Bekasi
dan sekitarnya. Pada tahun 1963 tak jauh dari tempat pondok pesantren
bahagia, Syaikh Muhammad Muhajirin Amsar Addary mendirikan pondok
pesantren An-Nida Al-Islami.
Para Guru Di Jakarta
Syaikh Muhammad Muhajirin Amsah Addary lahir pada tanggal 10 november
1924, di Kampung Baru, cakung sebuah daerah di pinggiran kota Jakarta.
Ayahnya seorang pedagang, H. Amsah, sedangkan ibunya Hj. Zuhriah. Syaikh
Muhajirin kecil mendapat pendidikan agama dari kedua orang tuanya dan
kerabatnya.
Ia belajar membaca al-quran, selesai menghatamkan al-quran , orang
tuanya mengadakan tasyakuran. Dan beberapa waktu kemudian mereka
mengirimkannya kepada beberapa mu’allim agar dapat mempelajari
dasar-dasar ilmu agama dan ilmu-ilmu lainnya.
Mu’allim pertama yang ia kunjungi adalah Guru Asmat. Ia belajar kepada
guru Asmat kurang lebih 6 tahun, kepadanya Syaikh Muhajirin kecil
belajar berbagai disiplin ilmu, di antaranya
nahwu,sharaf,fiqih,mantiq,ushul figh,ilmu kalam, dan tasawuf. Di
pertengahan masa belajar dengan Guru Asmat, ia juga menyempatkan diri
untuk menuntut ilmu kepada H.mukhoyar, mempelajari ilmu al-quran tajwid.
Mu’allim kedua adalah H.Ahmad. selama empat tahun ia belajar ilmu
darinya diantaranya ialah nahwu, arudh ( ilmu tentang syair ), fiqih,
dan hadist. Kemudian ia menuntut ilmu selama tiga tahun kepada K.H
Hasbiyallah ( pendiri yayasan al- Wathoniyah,Klender Jakarta Timur ).
Lalu ia belajar kepada K.H Anwar ( nahwu dan fiqih ) K.H Ahmad Mursyidi (
mantiq dan balaghah ) K.H Hasan Murtaha, cawang ( nahwu,ballaghah,
muthalah hadist- ilmua tentang peristilahan hadist,ushul fiqih,
adabul-bahts wal-munazharah-ilmu tentang adab diskusi). Selanjutnya
Muhajirin berguru kepada syaikh Muhammad Tohir Muara. Kali itu ini cukup
lama, sembilan tahun, mempelajari nahwu,fiqih, tafsir, mantiq,
balaghah, tasawuf, hadist, adabul-bahts wal-munazharah, dan falak.
Ia juga belajar ilmu gerhana bulan dan matahari kepada Ahmad bin
Muhammad, murid syaikh Mansyur al-falaqy. Dan gurunya yang terakhir di
Jakarta adalah syayid Ali bin Abdurahman Al-Habsyi. Kepadanya ia
mempelajari kitab Al-Hikam (tasawuf). Dapat dikatakan, dari para gurunya
itu ia telah memiliki bekal yang cukup banyak, minimal sebagai seorang
calon Kiai. Namun tidak berarti ia merasa puas dengan ilmu yang telah
dimilikinya. Justru ia semakin haus ilmu, dan itulah yang akhirnya
memantapkan niatnya untuk menuntut ilmu di tanah suci.Makkah dan
Madinah.
MENUNTUT ILMU DI TANAH SUCI
Tanggal 4 dzhulqaidah tahun 1366 H. bertempatan dengan bulan Agustus
1947, berangkatlah syaikh Muhajirin menuju Jeddah, Akhir bulan
dzhulqaidah tibalah ia di Jeddah. Selanjutnya ia melakukan umrah ke
Makkah. Selama di Makkah ia tinggal di rumah Syaikh Abdul Ghoni Jamal.
Di sana ia banyak mendapatkan ilmu pengetahuan. Setelah beberapa lama ia
menetap di rumah Syaikh Abdul Ghoni Jamal, ia pindah ke asrama jailani.
Di sana, pertama kali ia belajar kepada Syaikh Muhammad Ahyad, yang
mengajar di masjid al-haram. Kitab-kitab yang ia pelajari darinya adalah
: Fath Al-Wahab,al-Iqna’fi hilli Alfazh Abi syuja, Al-Mahalli ‘Ala
Al-Qalyubi, Riyadhash-Shalihin,Minhaj al-Abidin,Umdah al-Abrar, Dan Fath
Al-Qadir Fi Nusu Al-Ajir. Guru-rurunya yang lain selama ia belajar di
Makkah di antaranya Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath, Syaikh Zaini
Bawean, Syaikh Muhammad Ali bin Husain Al-Maliki, Syaikh Mukhtar
Ampetan,Sayyid’Alwi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Ibrahim Fathani, Syaikh
Muhammad Amin Al-Khutbi, Syaikh Ismail Fathani.
Dua tahun kemudian ia melanjutkan studynya dengan di Darul Ulum Ad
Diniyah. Selama belajar di sana, ulama yang paling berpengaruh dengan
keilmuannya adalah Syah Ahmad Mansyuri dan Syaikh Muhammmad Yasin
Fathani. Kurang lebih dua tahun. Kitab-kitab yang ia pelajari antara
lain : Syark Ibnu ‘Agil ‘Ala Alfiyah,Mukhtashar Ma’Ani’Ala at Talkhish (
Nahwu ) Al Mahalli ‘Ala Al-Qalyubi ( Fiqih ), Muwaththa’ Malik Sunnan
abi Daud ( Hadist ) Jam’ul-Jawami’( ushul fiqih ), Tafsir Ilmu
Kastsir,at-Thahbiq Baina al- Madzahib al-mudawwanah ( Kitab tentang
persesuaian antara beberapa madahab )
Dahaganya tentang ilmu pengetahuan membuat Syaikh Muhajirin tetap saja
rendah hati dan selalu merasa ada ilmu yang selalu mersa belum
dipahaminya dengan baik dan benar.
Akhirnya di penghujung bulan Dzulqaidah tahun 1370 H, bertepan dengan 28
agustus 1951, Shaikh Muhajirin berhasil menyelesaikan pendidikannya di
Darul Ulum merupakan lulusan terbaik dalam angkatannya. Tak lama
berselang iapun diminta untuk mengajar di almamaternya, meskipun
menyandang predikat lulus, Syaikh Muhajirin tetap belajar kepada Syaikh
Muhammad Yasin bai di rumah maupunnya di sekolah tempatnya mengajar.
Akhirnya, Syaikh Muhammad Yasin memberikan Ijazah kepadanya yang
dinamakan Maslak al-jali fi Asanid asy-Min Asanid asy-Syaikh Umar
Hamdan. Syaikh Muhajirin juga mendapatkan ijazah dari guru lainnya,yakni
Syaikh Muhammad Abdul Baqi, setelah selesai membaca Al-Manahil
as-Silsilah fi Al-Ahadits al-Musalsalah,baik secara fi’liyah (perbuatan)
maupun qauliyah (ucapan).
MELAHIRKAN ULAMA BESAR
Kamis tanggal 19 Shafar 1375 H,Bertepatan dengan 6 agustus 1955 Syaikh
Muhajirin tiba di tanah air, dua tahun setelah kembali ke tanah air ia
menikah dengan Hj.Hannah, salah seorang putrid K.H Abdurahman Sodri.
Dari pernikahan ini ia di anugerahi delapan anak empat putra dan empat
putri. Mereka inilah yang yang meneruskan perjuangan beliau dalam
mengembangkan pondok pesantren An-Nida Al-Islamy. Semasa hidupnya beliau
hanya mengabiskan waktunya dengan mengajar santri-santrinya di pondok
pesantren Syaikh Muhajirin juga dikenal sebagai ulama yang alimdan ahli
dalam berbagai bidang ilmu, khususnya ilmu falak. Menurut salah seorang
santrinya beliau adalah ulama yang pertama kali mengemukakan pendapat
bahwa bulan(baca:hilal) dalam ilmu falak dapat dilihat dengan ukuran 2 ½
derajat dengan langsung mengunakan mata kepala dan bantuan alat
tradisional.
Dalam hal ini tidak sembarangan orang dapat melihat hilal pada derajat
tertentu, semua itu memerlukan tahapan tahapan dalam waktu yang tidak
sebentar.
Ulama yang satu ini produktif menulis. Ia telah mengarang lebih dari 38
kitab, semuanya berbahasa Arab. Yang paling terkenal, Mishbah az-Zhulam,
delapan jilid, merupakan syarah kitab Bulugul Maram.
Kegigihan, ketegasan dan kesabaran beliau dalam mendidik santri, telah
banyak melahirkan ulama besar,yang juga mumpuni dalam membaca kitab dan
mengamalkan kitab-kitab yang beliau ajarkan.
Syaikh Muhajirin Wafat pada tanggal 28 Dzulqaidah 1424 H, bertepatan dengan tanggal 31 januari 2003.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)



0 komentar:
Posting Komentar